Adopsi Anak Bukanlah Hal yang Mudah – Dunia bisa sangat tidak adil. Ada pasangan suami istri, seperti kita, yang ingin memiliki anak sendiri. Sementara itu, ada anak-anak panti asuhan yang menunggu uluran tangan untuk mereka. Adopsi bukanlah hal yang mudah. Untuk suami saya dan saya, hampir tidak mungkin.
Adopsi Anak Bukanlah Hal yang Mudah
ftia – Enam tahun setelah pernikahan kami, dan keguguran pada tahun 2017, dan setelah beberapa upaya untuk memulai sebuah keluarga, kami mengetahui bahwa adopsi, yang akan menjadi pilihan terakhir, bahkan tidak terbuka bagi kami, karena alasan ekonomi dan kesehatan.
Kami telah mengikuti saran dokter untuk mengikuti program bayi, tetapi setelah serangkaian konsultasi dan perawatan, kami diberitahu bahwa saya akan sulit hamil lagi karena efek dari perawatan kemoterapi sebelumnya.
Ya, tiga tahun lalu, saya menderita penyakit trofoblas gestasional, yang mengharuskan saya menjalani 16 rangkaian kemoterapi.
Baca Juga : 5 Hal yang Wajib Diketahui Muslim Sebelum Mengadopsi Anak
Fertilisasi in-vitro (IVF) akan menjadi pilihan juga jika kita punya uang. Harganya bisa berkisar antara Rp 60 juta (US$4.300) hingga Rp100 juta, tergantung jenis obatnya. Saat itulah kami berpikir tentang adopsi anak.
Namun kami segera mengetahui dari Dinas Sosial Jakarta bahwa kami harus memenuhi lebih dari 20 persyaratan untuk mengadopsi seorang anak. Prosesnya sudah mati ketika mereka memberi tahu kami bahwa kami harus memiliki pekerjaan tetap untuk memenuhi syarat. Baik saya maupun suami saya tidak memiliki pekerjaan tetap.
Ada juga pertanyaan tentang apakah rumah sakit akan mengeluarkan saya sertifikat kesehatan yang dibutuhkan oleh agen adopsi, mengingat riwayat kesehatan saya. Dan proses hukumnya, termasuk mendapatkan persetujuan pengadilan, tidak hanya panjang tetapi juga mahal.
Saya menyadari bahwa kami tidak sendirian karena saya mengepalai kelompok yang terdiri dari para penyintas kemoterapi dan menemukan ratusan pasangan juga berjuang untuk memiliki bayi.
Bukankah kita pantas untuk mencoba memiliki anak?
Suatu kali saya mengunjungi sebuah panti asuhan di Jakarta Timur dan menemukan bayi yang baru lahir di dipan menangis meminta uluran tangan penuh kasih sayang sementara balita berlarian untuk mendapatkan perhatian kami.
Kami diberitahu bahwa banyak dari bayi dan anak-anak ini dibuang di pintu panti asuhan, atau ditemukan di tempat sampah. Statistik nasional mengejutkan. Sekitar 178 bayi baru lahir dibuang di jalanan pada tahun 2017, 90 lebih banyak dari tahun sebelumnya.
Dari jumlah tersebut, 79 meninggal, 10 ditemukan dalam bentuk janin. 89 lainnya selamat dan diserahkan ke panti asuhan untuk diadopsi, menurut laporan tirto.id mengutip Indonesia Police Watch. Jakarta mencatat jumlah kasus pembuangan bayi terbesar dengan 27 kasus pada tahun 2017, diikuti oleh Jawa Timur (24), Jawa Barat (23) dan Aceh (16).
Satu laporan pada tahun 2014, mengutip Organisasi Kesehatan Dunia, menyebutkan sekitar 760.000, atau sekitar 17 persen dari seluruh kelahiran hidup di Indonesia tidak diinginkan atau tidak direncanakan.
Aborsi adalah ilegal di mayoritas Muslim Indonesia, tetapi 2 juta wanita setiap tahun menggunakan praktik aborsi yang tidak aman untuk mengakhiri kehamilan yang tidak diinginkan, sebagian besar di luar nikah, yang seringkali membahayakan hidup mereka sendiri.
Sungguh menyakitkan saya menonton berita TV tentang orang tua yang melecehkan, bahkan membunuh anak-anak, atau mencampakkan bayi. Seperti kabar bayi baru lahir ditemukan terlantar di persawahan Teluk Naga Tangerang bulan lalu.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak melaporkan maraknya kasus kekerasan terhadap anak selama pandemi COVID-19. Antara Januari hingga Juni, pihaknya menerima laporan sebanyak 3.087 kasus kekerasan terhadap anak, meliputi 852 kekerasan fisik, 768 kekerasan psikis, dan 1.848 kasus kekerasan seksual.
Anak-anak ini berhak mendapatkan lebih. Banyak pasangan tanpa anak akan dengan senang hati memberi mereka cinta yang pantas mereka terima. Kalau saja kita bisa.
Kita bisa memberikan kasih sayang, merawat mereka, memberi mereka pendidikan dan kehidupan yang layak, jauh lebih baik daripada yang diberikan oleh orang tua kandung mereka.
Saya sepenuhnya mengerti bahwa peraturan adopsi yang ketat diperlukan untuk mencegah perdagangan manusia, tetapi peraturan itu tidak harus membuat hal itu mustahil bagi banyak orang, terutama mereka yang tidak kaya.
Kami terus mendengar cerita tentang orang-orang yang membahas tentang hukum adopsi.
Salah satu cerita tipikal adalah pasangan harus membayar semua biaya persalinan untuk seorang wanita yang tidak berniat memeliharanya. Cara lainnya adalah mengadopsi bayi dari ibu yang miskin, biasanya kerabat jauh.
Meski kelihatannya menggoda, kami tidak berniat mengelak dari hukum.
Kami hanya berharap proses adopsi lebih mudah, tidak hanya demi kami tapi juga untuk banyak anak yang tumbuh tanpa cinta di luar sana.